(Tulisan karya Muhammad Busthomi Wartawan Radar Bromo Jawapos)
Setiap Jumat pagi, Desa Pajaran di Kecamatan Rembang, Kabupaten Pasuruan, menyajikan pemandangan mengharukan. Ratusan lansia, terutama yang sebatang kara dan kurang mampu, mendapat jatah sarapan gratis dengan diantar ke rumah masing-masing.
AROMA masakan khas rumahan tercium dari dapur di rumah Ainul Wafa, Jumat Legi, 18 Juli lalu. Di sanalah ratusan nasi bungkus dimasak dan disiapkan.
Menjelang subuh, dapur itu tak ubahnya dapur umum kecil yang penuh aktivitas: menanak nasi, menggoreng lauk, menyiapkan sayur, hingga membungkusnya satu per satu.
Bukan dapur restoran atau katering profesional, tapi dari situlah kehangatan itu bermula. Dari rumah pemimpin desa yang menjadikan dapurnya sebagai pusat kepedulian.
Langit masih gelap saat masakan itu siap. Udara dingin pagi menyelimuti Desa Pajaran, Kecamatan Rembang. Namun, di sela kabut tipis yang menyelimuti jalanan, puluhan orang sudah bersiap.
Mereka beranjak dari rumah Ainul Wafa, kepala desa setempat. Masing-masing menenteng kantong plastik merah. Isinya beberapa nasi bungkus.
Satu per satu nasi itu diantar ke rumah-rumah. Bukan untuk dijual, melainkan dibagikan gratis, dengan senyum dan doa yang menyertainya.
Inilah Jumat pagi di Desa Pajaran. Hari di mana 236 lansia, terutama yang hidup sebatang kara dan serba kekurangan—menjadi tamu kehormatan. Mereka tak perlu melangkah ke balai desa, apalagi mengantre. Nasi itu yang datang kepada mereka.
Gerakan ini bukan program besar dari kementerian. Juga bukan proyek berskala nasional. Tapi, inilah karya dari hati: inisiatif Pemerintah Desa Pajaran yang sejak akhir 2022 menggelar program sarapan gratis bagi warga sepuh.
Bukan sekadar mengisi perut, tapi menghangatkan batin yang mungkin selama ini dingin oleh sunyi dan sepi. ”Kami ingin pemerintah desa hadir bagi kelompok masyarakat yang paling rentan,” ujar Ainul Wafa, kepala desa yang menggagas program ini.
Sejak awal, Ainul tahu benar bahwa pembangunan desa tak hanya soal jalan mulus atau kantor megah. Tapi juga tentang rasa, tentang siapa yang diperhatikan, dan siapa yang tak boleh ditinggalkan.
Filosofinya sederhana, sebagai pemimpin desa ia merasa memiliki tanggung jawab moral untuk memastikan tidak ada warganya yang kelaparan. Terutama para lansia yang sering kali luput dari perhatian.
”Bagi kami, pemerintahan desa bukan hanya soal pembangunan fisik, tapi juga pembangunan hati dan kepedulian sosial. Lansia adalah orang tua kita, merekalah cikal bakal desa ini,” tambahnya.
Awalnya, semua dibiayai dari kocek pribadi kades. Sekali waktu ada warga dermawan yang ikut membantu. Kini di tahun ketiga, program ini mulai mendapat dukungan dari APBDes.
Tapi kebutuhan terus bertambah. Jumlah lansia makin banyak. Dan bantuan pemerintah desa saja tak cukup.
Meski begitu, keterbatasan itu justru memunculkan satu kekuatan lain: gotong royong. ”Kalau semua hanya berharap dari APBDes, ya tidak akan cukup. Tapi kalau digerakkan dari kesadaran bersama, hasilnya jauh lebih kuat,” kata Ainul.
Dan benar saja, dari kebiasaan ini, tumbuh rasa tanggung jawab sosial. Banyak warga yang tergerak membantu. Ada yang menyumbang beras, lauk, atau sekadar ikut membungkus. Semua merasa punya andil.
”Harapan kami, masyarakat yang mampu bisa terinspirasi untuk support, peduli pada tetangga yang tidak mampu, bantu tetangga,” ujarnya.
Setiap nasi bungkus yang dibagikan, bagi Ainul Wafa, ada yang lebih dari sekadar rasa kenyang, yakni harapan. Ada wajah keriput yang kembali ceria, ada tangan renta yang terangkat mendoakan. Ada rasa syukur yang tak pernah cukup dijelaskan dengan kata.
Kadang mereka haru saat menerima. Katanya, sudah lama tak sarapan nasi hangat. Apalagi kalau diantar langsung ke rumah.
Bagi sebagian orang, nasi bungkus mungkin hal biasa. Tapi di Desa Pajaran, ia telah menjadi simbol. Bahwa desa tak harus kaya untuk bisa peduli. Bahwa keberpihakan itu bukan jargon kampanye, tapi keputusan sehari-hari.
Di Pajaran, Jumat bukan hanya hari penghujung pekan. Ia menjadi hari saat desa berdetak lebih pelan—untuk mendengar mereka yang selama ini tak bersuara. Hari ketika nasi bungkus jadi bahasa cinta paling sederhana, namun paling menggetarkan.
”Meski ini hanya seminggu sekali. Paling tidak, ini sangat membantu mereka,” tandas Ainul. (hn)
0 Komentar